Wednesday, September 4, 2019

Branding Wisata Lotim: Dilakukan Dipertanyakan, Tak Dilakukan Dikatakan Kurang Kreatif


LOMBOQNET-Usai sudah gawe besar Lombok Timur.  Sebuah perhelatan yang baru pertama kali dilakukan di Lombok Timur.  Gawe yang kemudian diberi nama, Pekan Pesona Gumi Selaparang (PPGS).  Berbagai kegiatan digelar, yang puncaknya dengan mengadakan iring-iringan 1000 dulang.  (Dulang berasal dari Bahasa Sasak, yakni sebuah wadah yang terbuat dari kayu berbentuk melingkar untuk meletakkan makanan yang akan disajikan kepada tamu khusus pada acara-acara besar adat maupun keagamaan di Pulau Lombok.  Dulang terdiri dari wadah dan penutup makanan yang disebut tembolaq).

PPGS ini konon diadakan untuk membranding pariwisata di Gumi Selaparang, dan secara tidak langsung, sekaligus memperkenalkan potensi-potensi yang dimiliki melalui kehadiran wisatawan mancanegara maupun para pelaku wisata. Sebuah pekerjaan yang tidak mudah namun sukses digelar sesuai perencanaan, terutama menyangkut peserta, waktu dan susunan acaranya.

Upaya-upaya keras nan serius ini bukan hanya sampai disitu saja.  Sebut saja misalnya Peresean di Lenek, Gawe Beleq Musim Kembalit di Sakra, Belanjakan di Masbagik, Festival Budaya Sajang di Sembalun dan beberapa kegiatan lain yang dilaksanakan dalam dua bulan terakhir, menuai kesuksesan. 

Yang menarik dari keseluruhan kegiatan-kegiatan ini adalah bahwa kegiatan ini dikatakan sukses pelaksanaannya di tengah-tengah berbagai persoalan yang belum mampu ditemukan solusinya ataupun pelaksanannya terkesan bertele-tele.  Misalnya mengenai proses penyelesaian pembangunan rumah korban bencana gempa bumi yang hingga kini penanganannya dinilai paling lamban di NTB, meskipun dana sudah ditransfer melalui BNPB langsung ke rekening penerima manfaat.  Sementara aplikator (pihak-pihak yang dipercaya menyediakan material bangunan) terkesan semaunya karena pengawasan yang lemah dari dinas terkait seperti BPBD dan Dinas Pekerjaan Umum.

Bukan itu saja. Kesuksesan itu juga seolah mengiringi masuknya musim kemarau yang mengakibatkan beberapa lokasi di Lombok Timur mengalami kekeringan dan kesulitan air bersih.  Kondisi inipun dianggap kurang mendapat perhatian pemerintah.  Langkah-langkah antisipatif hampir tidak terlihat padahal persoalan ini terjadi setiap tahun  dengan dampak nyata yang dirasakan masyarakat terutama di wilayah selatan.  Menyusul kemudian dengan anjloknya harga tembakau yang menjadi andalan sebagian besar petani Lombok Timur.  Untuk diketahui, tembakau merupakan tanaman perkebunan yang hanya bisa tumbuh dengan baik pada musim kemarau. 

Jadilah kemudian kesuksesan semua perhelatan dan agenda membranding wisata Lombok Timur itu menjadi terlihat ironis.  Belum lagi kalau kita bicara mengenai ukuran kesuksesan sebuah kegiatan yang harus mengacu kepada tujuan asasnya, bukan semata-mata kesuksesan dari segi kepanitiaan belaka,  maka kesuksesan kegiatan-kegiatan itu, masih menyisakan celah lebar untuk dipertanyakan.  Kalau berbicara tujuan, maka bisa dipastikan bahwa tujuan utama adalah meningkatnya jumlah kunjungan wisata ke Lombok Timur.  Apakah dari segi ini perhelatan itu dapat dikatakan sebagai sukses?  Kalau iya, apakah alat ukurnya?

Baiklah, kita anggap saja perhelatan itu sukses dari semua sisinya.  Sisi pelaksanaan dan tujunnya.  Apakah kemudian semua persoalan selesai begitu saja tanpa meninggalkan pertanyaan-pertanyaan tak terjawab?  Tentu saja tidak.    

Manakala kita dihadapkan pada sebuah kata atau kalimat yang populer di kalangan pemerintahan yakni kata “skala prioritas” maka mulai terkuaklah pertanyaan-pertanyaan itu.  Yakni, apakah membranding pariwisata itu lebih mesti diprioritaskan daripada menyelesaikan urusan-urusan pokok yang terjadi di masyarakat seperti revitalisasi lokasi terdampak bencana ataupun penyiapan air bersih masyarakat yang terkena dampak kemarau?  Ataupun sejauh mana kesusksesan membranding wisata itu, kalaupun memang sukses, akan berpengaruh secara instant terhadap pemenuhan kebutuhan mendasar masyarakat seperti disebutkan di atas?

Tentu saja yang mampu menjawabnya dengan tepat adalah pihak pemerintah Lombok Timur sebagai pelaku dan penanggung jawab semua kebijakan pembangunan.  Karena adabnya adalah, siapa yang melakukan maka dialah yang menjelaskan.  Akan tetapi, tentu saja kita tidak mesti menunggu jawaban.  Sebagai anggota masyarakat yang harus patuh pada pimpinan, ada baiknya kita berpikiran positif bahwa ilmu kita mengenai hubungan sebab akibat terkait kemajuan suatu kelompok masyarakat dengan melakukan beraneka kegiatan itu belum sampai di sana dan hasilnya kita serahkan saja ke pemerintah.  Kemudian kita meletakkan harapan ke beberapa bulan atau tahun ke depan bahwasanya cara seseorang mencapai tujuan yang sama memang berbeda-beda.  

Dan kita berharap bahwa ini bukan sekedar menghibur hati yang lara atau sebuah keputusasaan sia-sia ditengah langkanya solusi atas berbagai persoalan yang memiriskan hati.

Dan satu lagi, bahwasanya tulisan pendek ini semoga tidak dinilai seperti wall facebook salah seorang pejabat yang terkait erat dengan kegiatan-kegiatan di atas yang sempat dimunculkan yakni, “berbuat sesuatu dipertanyakan orang.  Tak berbuat dikatakan tak kreatif. Kaye Raden” (ht)

No comments:

Post a Comment